Wali Hazrata diduga telah ikut membunuh menantunya, Storai, hanya karena menantunya melahirkan anak perempuan lagi, sementara putra Hazrata yang adalah suami Storai mengharapkan kelahiran anak laki-laki
Seorang perempuan muda Afganistan melahirkan bayi perempuan yang ketiga tiga bulan lalu. Namun, kata pihak berwenang, suaminya menuntut seorang anak laki-laki.
Minggu lalu, pria itu dan ibunya, yang tinggal di Provinsi Kunduz di Afganistan utara, melilitkan tali di leher perempuan tersebut lalu mencekiknya hingga tewas, kata polisi.
Jenazah perempuan itu, yang hanya dikenal sebagai Storai (22) ditemukan polisi beberapa jam kemudian di kamarnya. Storai dikuburkan sehari kemudian, yaitu pada tanggal 26 Januari. Demikian laporan harian The New York Times, Senin (30/1/2012).
Kematian Storai merupakan sebuah remindermengerikan tentang status kaum perempuan di Afganistan. Hal yang juga mengganggu adalah kenyataan bahwa sang suami, yang diidentifikasi sebagai Sher Mohammad (30), dicurigai sebagai anggota milisi lokal. Milisi, kata para pejabat polisi dan pemerintah, telah menjamur di kawasan itu. Mereka telah terlibat pelanggaran hukum dan kekerasan, termasuk dalam rumah tangga.
The New York Times yang mengutip keterangan polisi melaporkan, Storai menikah empat tahun lalu, saat dia masih berumur 18 tahun. Sebelum melahirkan anak ketiga itu, ia sudah punya dua anak perempuan lain, yang masing-masing berumur 3 tahun dan 2 tahun.
Pada bulan-bulan setelah kelahiran putri ketiganya, suami dan ibu mertuanya mengomeli dia. Mereka bertengkar karena Storai kembali memiliki anak perempuan, kata Nadera Geya, kepala Direktorat Urusan Perempuan di Kunduz.
Setelah kematian Storai di Mafali, sebuah desa di Distrik Khanabad di tenggara Kunduz, sang ibu mertua menempatkan sebuah tali di jendela kamar menantunya itu demi memberi kesan bahwa menantunya meninggal karena bunuh diri, kata Geya. Namun, ada tanda-tanda penyiksaan yang memunculkan kecurigaan bahwa Storai dibunuh, kata Geya lagi. "Ibu mertuanya mencekik dia dengan tali, lalu mengatakan menantunya bunuh diri. Jelas itu tidak benar," kata Geya. "Mereka membunuh dia karena mereka tidak ingin dia melahirkan anak perempuan lagi."
Sayed Hussaini Sarwar, juru bicara kepala polisi Kunduz, mengatakan, ibu mertua itu, yang bernama Wali Hazrata, telah ditangkap, tetapi Muhammad, sang suami, melarikan diri. Hazrata kini ada dalam tahanan polisi di kota Kunduz. Menurut Sarwar, perempuan itu membantah bahwa ia dan anaknya telah membunuh Storai atau bahwa putranya anggota salah satu milisi yang dikenal sebagai arbakai.
Kunduz akrab dengan kekerasan dalam rumah tangga. Desember lalu, empat pria bersenjata, juga diyakini anggota milisi arbakai, menyerbu sebuah rumah, kemudian menyiramkan air keras kepada tiga gadis usia sekolah dan ibu mereka. Aksi brutal itu diduga merupakan upaya balas dendam karena lamaran nikah dari salah seorang penyerang terhadap salah seorang dari ketiga gadis itu ditolak oleh ayah para gadis tersebut.
Manizha Naderi, direktur eksekutif Women for Afghan Women, yang mengelola tempat penampungan bagi perempuan korban kekerasan, mengatakan, walau ia telah melihat kasus-kasus perempuan yang diintimidasi oleh suami mereka melalui kehamilan, dan kadang-kadang suami bahkan mengambil istri kedua atau ketiga jika istri pertama terus melahirkan anak perempuan, pembunuhan merupakan sesuatu yang tidak biasa. "Gadis-gadis dipandang rendah di Afganistan," kata Naderi seperti dikutipThe New York Times. "Saya telah mendengar banyak kasus di mana istri diancam dengan kekerasan dan dipukuli, tapi saya belum pernah mendengar seorang perempuan dibunuh karena melahirkan seorang bayi perempuan."
Heather Barr, peneliti Afganistan yang bekerja untuk Human Rights Watch, mengatakan, ada sebuah toleransi budaya bagi kekerasan terhadap perempuan dan impunitas bagi para pria yang melakukan itu di Afganistan. Ia menambahkan, berbagai upaya belakangan ini untuk melindungi kaum perempuan kurang memberi dampak. "Apa yang sangat mengecewakan adalah bahwa UU Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan tahun 2009 seharusnya merubah hal ini, tetapi hal itu memiliki dampak yang sangat kecil sejauh ini," kata Barr. Dia mengatakan, aturan dalam KUHP menentukan, seorang suami dapat membunuh istrinya karena berhubungan seks di luar pernikahan.
Pihak kepolisian mengatakan, Sher Mohammad saat ini dilindungi oleh seorang komandan lokal arbakai bernama Qaderak di Khanabad.
Kelompok-kelompok bersenjata telah menjamur di Afganistan utara dalam dua tahun terakhir. Mereka beroperasi secara lokal, kadang-kadang demi melindungi lingkungan dan desa-desa mereka. Namun, sering kali mereka meneror serta memeras uang dan barang milik warga. Kunduz terbelit oleh masalah milisi ini.
Sebagian kecil dari milisi itu yang merupakan bagian dari program yang dijalankan pasukan khusus Amerika yang melatih mereka sebagai penjaga lingkungan untuk masyarakat mereka sendiri—sebuah program yang koalisi katakan akan diakhiri dan diserahkan kepada otoritas Afganistan. Kelompok-kelompok yang lain sering menerima senjata dan sejumlah dukungan finansial dari pemerintah karena mereka berfungsi sebagai penyangga terhadap gerilyawan Taliban.
Para anggota arbakai diduga bertanggung jawab atas sejumlah kasus pembunuhan lain, serta penculikan dan pencurian, di Provinsi Kunduz, kata Shah Zaman Waziri, komandan Brigade Kedua Tentara Nasional di Kunduz. Ada sekitar 3.000 anggota milisi seperti itu di provinsi tersebut, tetapi jumlah mereka terus menurun, katanya. Polisi Khanabad mengatakan, ada sekitar 1.000 milisi di Kabupaten Khanabad saja.
Tahun ini, terkait kasus-kasus kebrutalan terhadap perempuan lainnya, tiga orang gadis tewas di Distrik Imam Sahib. Mereka dibunuh para calon suami mereka setelah keluarga gadis-gadis itu tidak mengizinkan mereka untuk menikah, kata Geya dari direktorat urusan perempuan di Kunduz.
Minggu lalu, pria itu dan ibunya, yang tinggal di Provinsi Kunduz di Afganistan utara, melilitkan tali di leher perempuan tersebut lalu mencekiknya hingga tewas, kata polisi.
Jenazah perempuan itu, yang hanya dikenal sebagai Storai (22) ditemukan polisi beberapa jam kemudian di kamarnya. Storai dikuburkan sehari kemudian, yaitu pada tanggal 26 Januari. Demikian laporan harian The New York Times, Senin (30/1/2012).
Kematian Storai merupakan sebuah remindermengerikan tentang status kaum perempuan di Afganistan. Hal yang juga mengganggu adalah kenyataan bahwa sang suami, yang diidentifikasi sebagai Sher Mohammad (30), dicurigai sebagai anggota milisi lokal. Milisi, kata para pejabat polisi dan pemerintah, telah menjamur di kawasan itu. Mereka telah terlibat pelanggaran hukum dan kekerasan, termasuk dalam rumah tangga.
The New York Times yang mengutip keterangan polisi melaporkan, Storai menikah empat tahun lalu, saat dia masih berumur 18 tahun. Sebelum melahirkan anak ketiga itu, ia sudah punya dua anak perempuan lain, yang masing-masing berumur 3 tahun dan 2 tahun.
Pada bulan-bulan setelah kelahiran putri ketiganya, suami dan ibu mertuanya mengomeli dia. Mereka bertengkar karena Storai kembali memiliki anak perempuan, kata Nadera Geya, kepala Direktorat Urusan Perempuan di Kunduz.
Setelah kematian Storai di Mafali, sebuah desa di Distrik Khanabad di tenggara Kunduz, sang ibu mertua menempatkan sebuah tali di jendela kamar menantunya itu demi memberi kesan bahwa menantunya meninggal karena bunuh diri, kata Geya. Namun, ada tanda-tanda penyiksaan yang memunculkan kecurigaan bahwa Storai dibunuh, kata Geya lagi. "Ibu mertuanya mencekik dia dengan tali, lalu mengatakan menantunya bunuh diri. Jelas itu tidak benar," kata Geya. "Mereka membunuh dia karena mereka tidak ingin dia melahirkan anak perempuan lagi."
Sayed Hussaini Sarwar, juru bicara kepala polisi Kunduz, mengatakan, ibu mertua itu, yang bernama Wali Hazrata, telah ditangkap, tetapi Muhammad, sang suami, melarikan diri. Hazrata kini ada dalam tahanan polisi di kota Kunduz. Menurut Sarwar, perempuan itu membantah bahwa ia dan anaknya telah membunuh Storai atau bahwa putranya anggota salah satu milisi yang dikenal sebagai arbakai.
Kunduz akrab dengan kekerasan dalam rumah tangga. Desember lalu, empat pria bersenjata, juga diyakini anggota milisi arbakai, menyerbu sebuah rumah, kemudian menyiramkan air keras kepada tiga gadis usia sekolah dan ibu mereka. Aksi brutal itu diduga merupakan upaya balas dendam karena lamaran nikah dari salah seorang penyerang terhadap salah seorang dari ketiga gadis itu ditolak oleh ayah para gadis tersebut.
Manizha Naderi, direktur eksekutif Women for Afghan Women, yang mengelola tempat penampungan bagi perempuan korban kekerasan, mengatakan, walau ia telah melihat kasus-kasus perempuan yang diintimidasi oleh suami mereka melalui kehamilan, dan kadang-kadang suami bahkan mengambil istri kedua atau ketiga jika istri pertama terus melahirkan anak perempuan, pembunuhan merupakan sesuatu yang tidak biasa. "Gadis-gadis dipandang rendah di Afganistan," kata Naderi seperti dikutipThe New York Times. "Saya telah mendengar banyak kasus di mana istri diancam dengan kekerasan dan dipukuli, tapi saya belum pernah mendengar seorang perempuan dibunuh karena melahirkan seorang bayi perempuan."
Heather Barr, peneliti Afganistan yang bekerja untuk Human Rights Watch, mengatakan, ada sebuah toleransi budaya bagi kekerasan terhadap perempuan dan impunitas bagi para pria yang melakukan itu di Afganistan. Ia menambahkan, berbagai upaya belakangan ini untuk melindungi kaum perempuan kurang memberi dampak. "Apa yang sangat mengecewakan adalah bahwa UU Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan tahun 2009 seharusnya merubah hal ini, tetapi hal itu memiliki dampak yang sangat kecil sejauh ini," kata Barr. Dia mengatakan, aturan dalam KUHP menentukan, seorang suami dapat membunuh istrinya karena berhubungan seks di luar pernikahan.
Pihak kepolisian mengatakan, Sher Mohammad saat ini dilindungi oleh seorang komandan lokal arbakai bernama Qaderak di Khanabad.
Kelompok-kelompok bersenjata telah menjamur di Afganistan utara dalam dua tahun terakhir. Mereka beroperasi secara lokal, kadang-kadang demi melindungi lingkungan dan desa-desa mereka. Namun, sering kali mereka meneror serta memeras uang dan barang milik warga. Kunduz terbelit oleh masalah milisi ini.
Sebagian kecil dari milisi itu yang merupakan bagian dari program yang dijalankan pasukan khusus Amerika yang melatih mereka sebagai penjaga lingkungan untuk masyarakat mereka sendiri—sebuah program yang koalisi katakan akan diakhiri dan diserahkan kepada otoritas Afganistan. Kelompok-kelompok yang lain sering menerima senjata dan sejumlah dukungan finansial dari pemerintah karena mereka berfungsi sebagai penyangga terhadap gerilyawan Taliban.
Para anggota arbakai diduga bertanggung jawab atas sejumlah kasus pembunuhan lain, serta penculikan dan pencurian, di Provinsi Kunduz, kata Shah Zaman Waziri, komandan Brigade Kedua Tentara Nasional di Kunduz. Ada sekitar 3.000 anggota milisi seperti itu di provinsi tersebut, tetapi jumlah mereka terus menurun, katanya. Polisi Khanabad mengatakan, ada sekitar 1.000 milisi di Kabupaten Khanabad saja.
Tahun ini, terkait kasus-kasus kebrutalan terhadap perempuan lainnya, tiga orang gadis tewas di Distrik Imam Sahib. Mereka dibunuh para calon suami mereka setelah keluarga gadis-gadis itu tidak mengizinkan mereka untuk menikah, kata Geya dari direktorat urusan perempuan di Kunduz.
{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }
Posting Komentar